Petani yang Merdeka
Oleh : DWI BAYU RADIUS
Nur Agis Aulia (27) bergeming menekuni dunia
pertanian, bahkan berjuang mematahkan anggapan bahwa bidang ini kurang
menjanjikan. Lewat Jawara Banten Farm yang didirikannya, dia mewujudkan angan
menjadi "jawara" pemberdayaan masyarakat berbasis pertanian.
"Apa yang orang khawatirkan menjadi petani dan
peternak adalah penghasilan yang baru diterima berbulan-bulan kemudian, yaitu
saat panen," ujarnya di Serang, Banten, Jumat (12/8).
Untuk mengatasi kekhawatiran itu, Agis
menjalankan usaha pertanian terpadu. Hasilnya lumayan. Dia memperoleh
pendapatan setiap tahun, bulan, minggu, bahkan setiap hari.
"Penghasilan tahunan saya dapatkan dari
hewan kurban dan sapi potong. Bulanan dari panen sayur dan akikah. Mingguan dari
penjualan bibit," ujarnya. Penghasilan harian berasal dari penjualan susu
kambing dan susu sapi.
Jawara Banten Farm terletak di Desa
Waringinkurung, Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, Banten. Di area
seluas sekitar 3.000 meter persegi itu terlihat kandang sapi dan kambing. Di
sebelah kandang tampak kebun dengan tanaman seperti cabai, terung, dan pepaya.
Dengan berusaha mandiri dan menggeluti pertanian,
Agis bisa mencukupi semua kebutuhannya. Dia tak lagi bergantung kepada orang
lain. "Sebagai petani, saya merdeka. Saya bertani dan beternak sendiri.
Jadi, kualitas, kesehatan, dan kehalalannya, saya juga tahu," ujarnya.
Sistem yang dijalankan Agis adalah pertanian
terpadu yang bergerak secara simultan. Biaya terbesar dari budidaya tanaman
adalah pupuk yang bisa diolah dari kotoran ternak. Sementara itu, biaya
terbesar dari peternakan adalah pakan yang didapatkan dari limbah pertanian.
"Biaya bisa diturunkan. Sebaliknya,
penghasilan meningkat dan bisa didapatkan setiap hari. Tak harus menunggu
berbulan-bulan seperti petani dan peternak pada umumnya," katanya. Agis
juga membina hubungan simbiosis mutualisme dengan petani setempat dengan
menjadi anggota Kelompok Tani Hijau Daun.
Jumlah anggota kelompok itu 25 orang dengan mata
pencaharian umumnya bercocok tanam. Petani bisa mengambil kotoran kambing dan
sapi dari Jawara Banten Farm untuk dijadikan pupuk. Sebaliknya, Agis
mendapatkan rumput atau tanaman liar untuk pakan ternak.
Dilarang jadi petani
Minat terhadap pertanian tumbuh semasa kuliah.
Awalnya, Agis memilih Jurusan Biologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah
Mada (UGM), Yogyakarta. "Tetapi, baru setahun saya sudah tak betah. Seusai
kuliah, ke laboratorium, lalu menulis laporan. Bisa sampai tengah malam,"
katanya.
Hasrat Agis adalah memberdayakan masyarakat.
Maka, tahun berikutnya, Agis putar haluan dengan pindah ke Jurusan Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM. Agis lalu
mendalami pertanian yang ditentang orangtuanya.
"Orangtua tak mau membiayai kuliah. Beruntung,
saya sudah punya penghasilan sendiri sebagai ketua pengawas koperasi
mahasiswa," ujar Agis. Ia juga meraih prestasi akademik yang baik sehingga
bisa meraih beasiswa dan akhirnya menjadi sarjana dengan predikat cum laude.
"Orangtua tak rela saya kuliah jauh-jauh
untuk jadi petani. Kata mereka, seperti sarjana gagal. Tak apa-apa. Saya minta
doa restu saja. Itu yang penting," katanya sambil tertawa.
Seusai kuliah, Agis kembali ke Serang dan
bermaksud membuka usaha pertanian. Lagi-lagi, tantangan menghadang. Namun,
pemuda itu tak peduli.
Orangtua tak mau Agis menjadi petani karena
dirinya sebenarnya sudah diterima bekerja sebagai pegawai salah satu badan
usaha milik negara (BUMN). "Warga juga sinis karena saya mau jadi petani.
Tetapi, modal sudah ada. Uang saku dari beasiswa saya tabung. Jadi, tidak
masalah," katanya.
Agis mulai mencoba menanam, antara lain, mentimun, kacang panjang, dan sawi pada 2013. Dia pun mulai merasakan beratnya menjadi petani dengan penghasilan yang baru diterima setiap dua hingga tiga bulan saat panen.
Dia memutar otak untuk meningkatkan pendapatan
yang lebih rutin. "Setelah dua tahun, baru saya menemukan pola pertanian
terintegrasi yang pendapatannya bisa diperoleh mingguan, bahkan harian,"
ujarnya.
Agis telah membuktikan bahwa dirinya mampu
mandiri. Hasil panen hortikultura pertama kali, sekitar 300 kilogram (kg), bisa
dipertahankan hingga kini. Panen hortikultura berlangsung setiap tiga bulan.
Agis juga merambah budidaya pepaya dengan hasil
sekitar 300 kg per bulan. Pendapatan lain diperoleh dari penjualan bibit
pepaya, cabai merah, terung, dan tomat. Rata-rata 300 bibit terjual setiap
bulan.
"Kalau hewan akikah sebanyak 5-10 kambing
terjual per bulan. Padahal, potensi permintaan mencapai 50-100 kambing per
bulan," ujar Agis yang melayani pengantaran barang pesanan dengan sepeda
motor sejak 2014.
Untuk menggenjot penjualan, mulai 2016, ia
memasarkan produk olahan pertanian dan peternakan secara daring melalui situs
www.jawarabanten.com. Baru beberapa bulan mencoba, Agus sudah kewalahan
memenuhi permintaan pasar.
Ajak masyarakat
Selain di Jawara Banten Farm, Agis menggarap
lahan sewaan berupa sawah seluas 6.000 meter persegi di Desa Sambilawang,
Kecamatan Waringinkurung. Hasil panen padi dari lahan itu sekitar 7 ton gabah
kering panen per tiga bulan.
Agis berencana membuka perkebunan pepaya lagi di
Kecamatan Baros, Kabupaten Serang. Dia tak mau menikmati kesuksesan sendiri dan
mengajak masyarakat belajar pertanian.
"Anak-anak muda yang mau membangun desanya
berdatangan. Hampir setiap bulan ada yang berkunjung. Sekali kunjungan, jumlah
tamu bisa mencapai 300 orang," katanya. Mereka di antaranya mahasiswa,
pensiunan BUMN, dan karyawan swasta yang melihat peluang pertanian.
Agis bersama sekitar 10 kawannya dari UGM,
Universitas Padjadjaran, dan Institut Pertanian Bogor juga membentuk komunitas
Banten Bangun Desa. Mereka sama-sama memiliki kegelisahan terhadap pertanian di
Banten yang dianggap stagnan.
Komunitas itu menyadarkan masyarakat mengenai potensi
di desa-desa yang sebenarnya amat besar. Mereka membedah potensi desa
masing-masing. "Kami melakukan program saba desa atau terjun langsung ke
lapangan. Pemuda-pemuda dilatih bertani dan beternak," kata Agis.
Mereka juga diajari menyusun rencana bisnis,
memasarkan produk, dan mengenal peluang di desanya. Hingga saat ini terdapat
sekitar 100 aktivis Banten Bangun Desa. Mereka tersebar di empat desa di
Kabupaten Serang dan dua desa di Kabupaten Pandeglang.
"Selain pemuda, ada organisasi kemahasiswaan
yang berpartisipasi. Lalu, terdapat 10 kelompok tani dan satu gabungan kelompok
tani yang dilibatkan," tuturnya.
Agis tidak mengetahui pasti jumlah total pemuda
yang sudah mendapatkan manfaat dari program Banten Bangun Desa. Namun, dia
sendiri sudah mengajari lebih dari 1.000 orang.
Mulai akhir 2015, Agis melihat banyak anak muda
Banten pulang kampung. "Mereka kembali dengan semangat start up
(rintisan baru) menjadi petani dan peternak untuk membangun desanya. Itu
sejalan dengan motivasi saya," katanya sambil tersenyum.
Agis ingin mengurangi pengangguran dan
kemiskinan, terutama di pedesaan. Potensi pertanian sebenarnya luar biasa
besar. "Tetapi, banyak petani masih miskin. Kalau mau mengurangi
kemiskinan dan pengangguran, saya harus membuka usaha dan mengajak masyarakat
melakukannya," katanya.
Sumber : Harian Kompas tanggal 18 Agustus 2016
Sumber : Harian Kompas tanggal 18 Agustus 2016
Tonton juga tokoh Agis dalam Kick Andy : https://www.youtube.com/watch?v=V38yzqgBeCc
Di post oleh : Rr. Megandini Listy Indira